Tuesday, January 15, 2008

Jasad Ompungku Rupanya Hilang



Tulisan ini kubaca dari situsnya liputan 6. yang sangat menyedihkanku adalah hilangnya Jasad Sang Raja Simarmata...... Dasar Belanda.. Dan akupun baru mengetahuinya sekarang. mengapa orang tuaku tidak pernah menceritakannya, atau malahan merekapun juga tidak mengetahuinya. Satu hal yang selalu orang tuaku bilang " We are SIMATARAJA" dang dope dibereng jolma, nungga di Matahon simarmata... Akupun kurang mengerti apa maksudnya. Entah mengapa aku sangat membanggakan margaku, sama dengan batak lainnya. Ternyata setelah kutelaah bahwasanya orang tua Zaman dahulu sengaja menerapkan hal itu sehingga muncul semangat berkompetisi dengan orang lain dengan membanggakan latar belakang budaya. Hal ini kuperoleh dari Tulisan Lawrence Manullang


Menanggapi latar belakang apresiasinya terhadap kultur ini, Laurence membeberkan pengalaman pribadinya. Suatu saat pada waktu berkunjung ke Korea Selatan, dia menyaksikan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional Korea Selatan sungguh sangat mengagumkan. Laurence bertanya-tanya,apa yang menjadi motivasi yang mampu mempersatukan seluruh rakyat Korea. Selatan untuk bekerja keras. Bayangkan hampir semua tenaga produktif orang Korea Selatan mampu bekerja 18 jam satu hari. Laurence dapat menemukan motivasi itu adalah faktor kultur.
Laurence membaca satu majalah terbitan Korean AirLine yang menceriterakan asal-usul orang Korea. Katanya, orang Korea adalah termasuk suku bangsa tua yang berasal dari hasil perkawinan campuran antara Cina dan Siberia (Rusia). Sedangkan Jepang berasal dari satu propinsi di Cina,yang eksodus transmigrasi menempati teritori yang paling timur di Asia yang secara langsung terlepas dari daratan Cina. Orang Korea mengumumkan bahwa orang Jepang jauh lebih muda dari orang Korea. Tapi Jepang sempat menjajah Korea selama 35 tahun. Lalu pemimpin Korea mengumandangkan bahwa sebagai saudara muda, orang Jepang seharusnya tidak layak menjajah Korea big brother-nya sampai 35 tahun. Namun sayang, itu telah terjadi. Tapi sekarang tibalah saatnya Korea menjajah Jepang dari sudut ekonomi demikian pemimpin Korea memotivasi rakyatnya untuk bekerja keras membangun negeri. Ternyata motivasi ini sangat mujarab, orang Korea memiliki etos kerja yang dahsyat. Rupanya motivasi yang paling kuat untuk membangun etos kerja kalau dapat dikaitkan hal positif dari faktor keturunan dapat merupakan pendorong yang ampuh.
Toba, Muara Tradisi yang Nyaris Punah
iputan6.com, Samosir: Danau Toba dan Pulau Samosir di Sumatra Utara tak hanya indah. Tapi, ternyata juga menyimpan legenda keramat Suku Batak. Para tetua Batak yakin sumber tradisi mereka berasal dari danau yang kini menjadi obyek wisata andalan provinsi Sumut itu. Orang Batak Toba yang bermukim di sekitar danau ini memang patut bersyukur. Lihat saja. Meski sekitar daerah tersebut mulai gundul dan air danau kian susut, namun penduduk masih bisa bermanja dengan kesuburan alamnya.
Legenda yang masih hidup hingga kini menyebutkan raja Batak yang menjadi leluhur suku itu diturunkan Sang Pencipta di tempat tersebut. Di pinggiran Danau Toba persis di puncak Gunung Pusuk Buhit.Di lereng gunung yang dianggap keramat ini pula masyarakat setempat mempercayai tempat raja Batak menyimpan hartanya. Kekayaan itu tersimpan dalam sumur bernama Sianjur. Kemudian mulut tempat air itu ditutup batu hobon. Mereka yakin, jika batu bertuah itu disingkirkan, akan mendatangkan petaka. Legenda itulah yang membuat banyak orang berziarah ke Sianjur untuk memohon berkah.Orang Batak di sekitar Danau Toba hidup dari hasil pertanian. Komunitas mereka berkembang dalam lingkup perkampungan kecil yang disebut huta dan ditandai pagar batu raksasa. Sisa-sisa huta tersebar di kawasan ini. Sekarang, peninggalan itu bisa ditemukan dalam bentuk rumah dan lumbung padi tradisional orang Batak. Keindahan ukiran dan detil bangunan-bangunan ini melambangkan struktur masyarakat yang disertai doa bagi keturunannya.Dahulu, kaum perempuan selalu menyempatkan diri menenun ulos. Kain tradisional orang Batak itu kemudian dijual untuk menunjang hidup. Sebuah ulos bisa diselesaikan paling cepat dalam tempo seminggu. Jika buah tangan itu sudah sempurna, harga jualnya disesuaikan tingkat kreasi yang diciptakan. Minimal harga sehelai ulos Rp 150 ribu. Sayangnya, kegiatan ini sudah sulit ditemui. Sebab, kerajinan tangan para perempuan yang kerap membantu suaminya bertani ini kalah bersaing dengan buatan pabrik yang dilego dengan harga lebih murah.Di sudut lain, Guntur Sitohang masih mencoba melestarikan kemampuannya menciptakan alat musik tradisional yang kini sudah langka. Bahkan, hanya dialah yang masih tetap serius menekuni pembuatan alat-alat musik tradisional Batak di kawasan Toba itu. Padahal, usaha yang telah puluhan tahun digarapnya ini sering tak sebanding dengan pesanan yang datang. Dia bertahan hanya demi idealisme. Harga alat musik tradisional itu beragam. Seruling atau talatuit yang paling murah. "Bisa diminta saja, tak usah dibayar," kata Guntur, datar. Termahal, tambah dia, gondang atau tagading. Harganya Rp 3 juta. "Tapi jika lengkap dengan gong, serunai besar dan pasangannya, paling murah Rp 6 juta," kata Guntur. Sebab, membuat alat musik tersebut cukup sulit. Guntur mengakui kian sulit menemukan jejak seni budaya asli Batak di tempat ini. Bahkan, bisa dikatakan kesenian tradisional itu sudah punah.Ritual yang masih dilaksanakan hingga kini adalah upacara kematian. Perayaan ini diagungkan karena menjadi kelanjutan siklus perjalanan hidup seseorang di dunia. Bagi orang Batak, alam kematian adalah pencapaian kemuliaan yang disebut tondi. Tak heran bila orang Batak rela mengeluarkan duit jutaan rupiah untuk membangun makam-makam megah.Sisa makam kuno juga masih ada hingga kini. Hal itu bisa dilihat di makam raja Simarmata di Huta Simarmata yang masih berupa sarkofagus batu. Sayangnya, mayat raja ini diambil pemerintah kolonial Belanda semasa pergerakan kemerdekaan. Tindakan itu dilancarkan untuk menggemboskan semangat rakyat. Agaknya siasat ini berhasil. Ikatan batin masyarakat terhadap budayanya pun ikut melemah. Kini, sisa-sisa warisan budaya itu pun memudar bersama waktu.(TNA/Tim Potret)



0 comments: