Lagu ini sangat berkesan buatku. Pernah aku berjalan-jalan dengan seorang Bosku dikantor kesuatu Mall di Medan. Aku Melihat disampul CD itu tertulis Simarmata Nauli, aku sangat ingin membelinya. Namun Apes uangku saat itu sangat terbatas. Namun dengan sangat yakinnya, aku beli CD nya.. Truss kudengar dikomputerku, kujadikan MP3. Alhasil malam itu aku betul-betul tidak punya uang buat makan malam. Sekarang lagu itu ku buatkan untuk Bapa ku, di kampungku Perdagangan. Berikut lagunya
Simarmata Nauli
Adong do sada huta naung leleng dung hutinggalhon
Nasai huhalungunhon, jala solot dirohangki.
Hauma nabidang, panuanan ni bawang i.
Simarmata Nauli Tano Hatubuanki, Hutani da ompungi.
Ai nunga tarbarita hinauli ni hutai
Torop do pangisina denggan nang parsaorani.
.............
..........
Huta Simarmata nauli
Nadi topi tao na dipulo samosir i..
Pangullus ni alogi, sian Tao nisilalhi i
Parhasak nigalumbangi, tung naso lupa au tusi..
Molo dirondang ni bulan i
Marende ma muse angka sidoli partandang i
Ro sian luat nadao,
Manopot boru Simarmata i
Naburju do sudena i, jala lambok marrohai
Molo mulak maho muse tuhutai..
Tataponmu Tugu i Na Timbo Nauli..
Tugu Parsadaan i diangka Pinomparnai
....................
...................
(Titik-titik ini akan kulengkapi, dikarenakan lagunya tinggal di Medan)
Wednesday, January 16, 2008
Mars Simarmata
Posted by
Ord Pe
at
6:12 AM
0
comments
Tugu Simarmata
Dengan keEsaan Tuhan sebuah Tugu melambangkan kejayaan yang menjadi perekat tali silaturahmi seluruh Pomparan Simarmata saat itu didirikan. Kembali kuperoleh dari buku itu sekelumit perjalanan panjang tentang teknis pendirian Tugu Simarmata dan konflik yang terjadi akibat kekurangan dana. Namun Terimakasih kuucapkan kepada semua pihak yang sudah bersusah payah ikut berpartisipasi dalam proses pendirian Tugu sehingga siapapun Pomparan Raja Simarmata akan sangat bangga terhadap kebesaran Simarmata itu sendiri.
Namun sekarang terjadi kekurangan rasa peduli atau bahkan kekurangan informasi mengenai Tugu ini. Di penghujung Tahun 2007 Wisatawan Lokal sedang berkunjung Ke Pulau Samosir. Mereka Teman sekantorku, karena mereka mengetahui Aku Marga Simarmata mereka dengan antusiasnya berkunjung ketugu ini dan mengambil beberapa Potret Tugu tersebut. Sebelum menunjukkan photo itu salah seorang temanku mengatakan " Sayang Tugu itu Sudah TIdak Terawat dan ditumbuhi banyak rumput Liar". Aku tertegun, sambil memandangi photo itu aku teringat bahwa sampai sebesar ini dan sudah empat pulau yang kusinggahi di Indonesia tak pernah sekalipun aku pernah singgah ke Tugu kebesaran Raja Simarmata. Sangat naif memang. Semasa aku kecil aku hanya singgah dari Sosor Bulu kampung Namboruku, Sidaji Kampungku, dan selalu diteruskan ke Parbaba huta Ompung dari Oma ku. Semoga terjalin komunikasi kuat para Generasi penerus Simarmata khususnya muda-mudi sehingga suatu saat ada kesempatan untuk membersihkan bahkan memugarnya.
Horas... Teriring salam dari Iwan Simarmata ( Banda Aceh)
Posted by
Ord Pe
at
5:54 AM
0
comments
Ompungku Simarmata
Semasa aku Kecil, Bapa sudah mengenalkanku dengan menceritakan Simarmata dari mulai lahir hingga kobolehannya sebagai Panglima Jala Ulu balang nagogo. Kami pernah diberika copy sejarah Lengkap Simarmata dan Proses Mendirikan Tugu Simarmata. Buku itu raib entah kemana, dan hingga kini tidak dapat kutemukan. Sepintas aku mengingat kalau Ompungku Simarmata Mangalap (Menikah dengan Ompu Lahatma br. Limbong Sihole yang masih Paribannya). Ketangkasan beliau sebagai Panglima jala Ulu balang Na gogo mendapat pengakuan sewaktu dapat menghalau musuh dari daerah simalungun membantu saudaranya marga Siallagan dengan berperang di Danau Toba. Untuk menambah ketakutan lawan kala itu Simarmata menggunakan Orang-orangan yang diikat berbaris didanau. Alhasil musuh mengira bahwa jumlah Pasukan Simarmata sangat banyak. Hingga akhirnya mereka dapat memenangkan pertempuran. Dan Musuh tidak lagi berani menggagu tanah Siallagan. Sekelumit Kisah tentang Ompung kita Simarmata. Sebenarnya ada banyak kisah tentang Raja Simarmta yang terdapat di buku itu namun untuk sementara aku harus bersabar hingga menemukan kembali buku yang sekarang kuanggap sangat tidak ternilai harganya.
Read More......
Posted by
Ord Pe
at
5:21 AM
0
comments
Simarmata
Sekilas Tentang Simarmata
* Ompu Tuan Binur
Adalah putera sulung Raja Isumbaon yang sebenarnya bernama Ompu Tuan Nabolon, namun sampai kini keturunannya dinamai pomparan Nai Ambaton menurut ibu leluhurnya dan walaupun keturunan Naiambaton sudah lebih dari 50 marga dan lebih kurang 20 generasi, sampai sekarang masih tetap mempertahankan "ruhut bombong" yaitu peraturan yang tidak memperbolehkan perkawinan sesama marga yang termasuk seluruh marga Nai Ambaton. Nai Ambaton mempunyai 5 putera, tetapi ada pendapat yang mengatakan tiga orang putera dan ada juga mengatakan empat orang. Meskipun ada perbedaan pendapat tetapi tentang jumlah dan marga-marga yang termasuk keturunan Raja Nai Ambaton hampir semua sepakat. Tulisan ini mengikuti pendapat yang mengatakan putera Nai Ambaton ada 4 orang, masing-masing:Simbolon Tua, Saragi Tua, Tamba Tua, Munte Tua. Dari keempat marga induk inilah lahir berpuluh puluh marga keturunan Nai Ambaton. Saragi Tua mempunyai 2 orang putera yaitu Ompu Tuan Binur dan Saragi Tua. Ompu Tuan Binur kawin dengan Bunga Ria Boru Manurung, puteri Raja Manurung yang tinggal di negeri Sihotang. Ompu Tuan Binur kemudian mendirikan kampung yang bernama Huta Namora di Rianiate, dekat Pangururan dan menjadi raja dari daerah sekitarnya. Ompu Tuan Binur mempunyai 4 orang putera yaitu Lango Raja, Saing Raja, Mata Raja dan Deak Raja, dan kedua puterinya kawin dengan Sihotang Marsoit dan Limbong Naopatpulu.
* Ompu Simataraja Simarmata.
Putera ketiga dari Ompu Tuan Binur yaitu Simataraja, yang kemudian kawin dengan puteri Raja Saudakkal dari Limbong Mulana, bernama Lahatma boru Limbong Sihole, dan selanjutnya mereka tinggal didaerah bernama Simarmata, sebagai bona pasogit dari seluruh keturunan Ompu Simataraja marga Simarmata. Kapan percisnya Simataraja memakai marga Simarmata, kurang jelas. Dari perkawinannya, Simataraja mempunyai tiga orang putera yaitu:Halihi Raja, kawin dengan Naolo boru Sihaloho dari Janji Maria Parbaba, Dosi Raja, kawin dengan Bungahom boru Malau dari Rianiate, dan Datuktuk Raja kawin dengan Tiarma boru Sinaga Uruk dari Batu Upar, Urat. Kepada ketiga puteranya Simataraja membagikan tanah sebagai tempat kediaman masing-masing beserta keturunannya. Halihi Raja memperoleh Huta Uruk, Dosi Raja memperoleh Huta Toguan(Toruan), dan yang bungsu Datuktuk Raja memperoleh Huta Balian. Setelah Ompu Simataraja wafat, maka ketiga puteranya tetap menjadi raja di negeri Simarmata dengan damai. Diduga ketiga Ompu ini hidup sekitar tahun 1550. Dari ketiga putera Ompu Simataraja inilah yang menurunkan marga Simarmata dan menyebar keseluruh pelosok, terutama ke daerah pantai Sumatera ditepian pantai Danau Toba, baik kearah Timur, Tenggara maupun Barat, diantaranya ke Simalungun, Karo, Dairi, Humbang, Sibolga, Barus dan selanjutnya ke Pematang Siantar, Binjai dan kota-kota lainnya di Sumatera, Jawa, bahkan ke seluruh Indonesia dan Dunia.
* Simarmata menjadi Saragih dan Ginting.
Bila diperhatikan sepintas, bahwa raja-raja penguasa tanah Simalungun hanya terdiri dari empat marga yaitu Saragih, Damanik, Purba dan Sinaga, ada kesan bahwa keturunan Raja Nai Ambaton dari puteranya Saragi Tua, sudah cukup lama pergi ke tanah Simalungun sehingga dapat menjadi raja. Keturunan Simataraja marga Simarmata yang datang kemudian dapat diterima di Simalungun karena mengikuti marga dongan tubunya Saragi yang di Simalungun menjadi Saragih. Belakangan setelah kekuasaan raja-raja berkurang, marga Simarmata yang tadinya disebut marga Saragih kembali memakai marga Simarmata. Namun mereka umumnya kesulitan untuk mengetahui siapa diantara ketiga Ompu anak Simataraja, yang menjadi leluhurnya. Kebanyakan dari mereka menempati pesisir pantai di hadapan Pulau Samosir, seperti Tigaras, Haranggaol, Silalahi dan desa-desa disepanjang pantai tersebut. Konon kabarnya perpindahan generasi ini sudah berlangsung antara tujuh sampai sepuluh generasi. Seorang penulis di Harian Sinar Indonesia Baru, pernah berpendapat bahwa Simarmata yang di tanah Karo menjadi Garatama(merah mata), datang ke tanah Karo melalui Dairi. Kampung yang mula-mula mereka tempati adalah kampung Lau Lingga(sekerang kecamatan Juhar). Di sini Garatama membuat namanya menjadi Matangken dan marganya Ginting.
* Simataraja mengasihi adiknya Deak Raja dengan setulus hati.
Ketika ayahanda Lango Raja, Saing Raja, dan Simataraja meninggal, ibu mereka Ompu Bungaria boru Manurung sedang hamil (Marnadeak siubeon), kedua abang Simataraja bersikeras agar warisan peninggalan Ompu Tuan Binur dapat dibagi secepatnya. Tetapi Simataraja menolak dengan pertimbangan bahwa ibunda mereka masih hamil, mengandung calon adik mereka. Bagaimana warisan dapat dibagi tiga, sebab kalau ternyata bayi yang akan lahir itu adalah laki-laki, sesuai adat Batak, semuanya mempunyai hak yang sama. Simataraja meminta kepada abang-abangnya agar pembagian warisan ditunda saja dulu, sampai ibu mereka melahirkan. Permintaan Simataraja tidak disetujui oleh Lango Raja dan Saing Raja. Mereka tetap bersikeras agar pembagian dilakukan sekarang juga. Dengan perasaan sedih dan terpaksa Simataraja menyetujui keputusan kedua abangnya, dan dia berjanji bila bayi yang akan dilahirkan ibunya adalah laki-laki, maka warisan yang menjadi haknya akan diberikan kepada adiknya itu. Keputusanpun dilaksanakan, warisan dibagi tiga. Setelah tiba saatnya, ibunda merekapun melahirkan seorang putera yang diberi nama Deak Raja, dan sesuai janjinya Simataraja memberikan warisan miliknya untuk adiknya yang sangat disayanginya karena dia tidak sempat mengenal ayahanda mereka. Kemudian hari Deak Raja menurunkan marga Nadeak. Kisah ini dapat memberi pelajaran berharga bagi keturunan Simataraja, yang sekarang ini dikenal sebagai marga Simarmata, agar tetap menghormati yang lebih tua berupa tunduk kepada keputusan abangnya dan tidak mementingkan harta, dengan memberikan warisannya kepada adiknya, dan dia sendiri meninggalkan kampung halamannya di Rianiate dan pergi ke daerah baru, yang sekarang ini dikenal sebagai negeri Simarmata.
* Simataraja unggul dalam hal komunikasi dan negosiasi.
Konon khabarnya bahwa di negeri Tamba, tempat tinggal keturunan Tamba, ada warisan peninggalan kakek Simataraja yaitu Saragi Tua dan peninggalan ayahnya yaitu Ompu Tuan Binur. Mereka berempat, Lango Raja, Saing Raja dan Simataraja beserta Deak Raja berunding untuk meminta penjelasan tentang warisan yang menjadi hak mereka. Disepakati bahwa yang menjadi utusan adalah Simataraja. Pada hari baik dan bulan baik, berangkatlah Simataraja ke negeri Tamba dengan misi "patotahon" atau "penegasan" bagian peninggalan ayah dan kakeknya. Kedatangan Simataraja disambut dengan baik oleh dongan sabutuhanya dari keturunan si Raja Nai Ambaton, yaitu Tamba bersaudara yang terdiri dari:Si Tonggor Dolok, Si Tonggor Tonga-tonga dan Si Tonggor Toruan. Melalui acara marsisean Tamba bersaudara bertanya tentang maksud dan kedatangan Simataraja, yang di jawab bahwa kedatangan Simataraja adalah untuk bertanya tentang warisan peninggalan kakek dan ayahnya yang ada di daerah Tamba. Tamba bersaudara mengakui bahwa ada peninggalan Ompu Tuan Binur dan Saragi Tua di daerah Tamba. Tamba bersaudara mengajak Simataraja ke Golat yang ada di daerah Tamba, lalu mereka berikrar dan menyepakati mana yang mejadi hak Tamba bersaudara dan mana yang menjadi hak keturunan Ompu Tuan Binur. Setelah ikrar dipastikan, tercapa rasa puas, pada masing-masing pihak, lalu mereka mengadakan pesta gembira, dengan mengundang semua unsur Dalihan Natolu. Pada pesta tersebut mereka mangalahat horbo sitingko tanduk, sijambe ihur, siopat pusoran namalo marege di tonga alaman, melambangkan kegembiraan hati dan kerbau yang mempunyai empat kaki melambangkan kesatuan mereka pinompar ni si Raja Nai Ambaton Nabolon. Kisah tersebut memberi pesan bahwa Simataraja, leluhur marga Simarmata adalah orang yang mempunyai kemampuan lebih dalam hal berkomunikasi dan negosiasi, bila dibandingkan dengan saudara-saudaranya. Dalam masyarakat Batak yang patrilineal, dimana yang tertualah biasanya yang mewakili kepentingan keluarga. Simataraja dapat memperoleh apa yang menjadi misinya, tanpa mendatangkan rasa sakit hati kepada siapapun, malah justru merasa puas, karena kemampuannya "marhata". Suatu bahasa diplomasi ala Batak yang penuh dengan bahasa halus, umpasa-umpasa, tamsil, yang tidak dimiliki semua orang. Kemampuannya berkomunikasi sangat prima, artinya mampu memilih kata yang tepat pada waktu yang tepat, dapat mengendalikan emosi, mau mendengar pendapat orang lain, mampu melihat tidak hanya yang tersurat, melainkan juga yang tersirat, mempunyai wawasan pemikiran yang luas dan yang terutama mempunyai ketulusan hati. Semoga keturunannya, SIMARMATA dapat mewarisinya.
* Simataraja tidak mau mempergunakan kesempatan dalam kesempitan.
Ada keturunan Raja Turnip dan Raja Siallagan, yang tinggal di Simanindo. Mereka mendapat serangan dari marga Purba dari Simalungun. Serangan demikian hebatnya, yang mengakibatkan kalau ada keturunan Turnip dan Siallagan yang tertangkap langsung di jadikan hatoban atau budak. Raja Turnip dan Siallagan kewalahan dan butuh pertolongan. Lalu diadakan Sidang Darurat yang memutuskan untuk meminta pertolongan Simataraja, selaku dongan tubu, tetangga dan konon khabarnya juga marpariban karena sama-sama helani ni Limbong. Utusan ditugaskan menemui Simataraja, dan untuk menunjukkan rasa hormat mereka membawa kuda Sigajanabara. Mendapat penjelasan dari utusan, Simataraja diyakini dapat melepaskan mereka dari kesulitan, maka dia pun berangkatlah ke Simanindo. Simataraja merancang strategy. Turnip dan Siallagan diminta agar selama tujuh hari memintal tali ijuk. Kemudian selama tujuh hari Turnip dan Siallagan agar jangan ada yang meninggalkan rumah. Simataraja mau berjuang sendiri, mempertahankan Simanindo. Dia membuat orang-orangan, sejenis ondel-ondel Betawi, yang dibuat mirip serdadu perang. Dipasang hanya pada malam hari, antara Rahutbosi dan Simanindo. Suatu malam musuh yang ditunggu-tunggupun datang, Simataraja siaga dengan tali ijuk di tangan, mengontrol orang-orangan. Begitu musuh sudah masuk pada jarak yang sesuai, tiba-tiba pengontrol ditarik mengakibatkan orang-orangan bergerak, bergoyang-goyang seperti serdadu yang menyerang musuh. Simataraja memberi komando seperti berperang. Musuh sangat kaget, menghadapi situasi yang tidak terduga, maka posisi perahu mereka kalang kabut, ada yang panik, ada yang tenggelam, ada yang melarikan diri. Musuh sudah kalah, sebelum menyadari apa yang terjadi. Turnip dan Siallagan sangatlah gembira. Pestapun diadakan, Simataraja diminta kesediaannya agar mau tinggal bersama mereka. Simataraja menolak permintaan dongan sabutuhanya, dengan ucapan:Marilah kita menempati tanah masing-masing. Kemudian mereka bertiga "marpadan". Pesan dari ceritera ini adalah Simataraja tidak mau mempergunakan kesempatan dalam kesempitan orang lain, tanah yang ditawarkan ditolak. Semoga keturunannya marga Simarmata, jangan menjadi orang yang materialistis.
* Tugu Simataraja
Tugu adalah monumen, pemersatu dan sebagai simbol leluhur marga, sekaligus menegaskan bahwa pomparan ini, keluarga ini bukan "mapultak sian bulu". Dengan memiliki monumen seorang keluarga Simarmata, tidak soal dari mana dia berasal, berapa generasi moyangnya sudah pergi merantau meninggalkan bonapasogit, dia tetap dapat berkata inilah leluhurku, akulah cucunya. Bonapasogit adalah tanah kelahiran, kampung halaman, tempat ziarah, tempat perantau melabuhkan rindu. Bonapasogit bagi keturunan Simataraja adalah tanah Simarmata, suatu negeri di pulau Samosir. Kini tugu kebanggaan seluruh pomparan, keluarga besar Ompu Simataraja, sudah berdiri tegak disebuah desa, dinegeri Simarmata bernama Toguan, ditepi Danau Toba, seolah melambai memanggil pulang anak cucunya untuk membangun bonapasogit tercinta, seolah mengulurkan tangan menyambut kedatangan "pomparan"nya dan berkata:Cucu-cucuku aku adalah leluhurmu, Simataraja Simarmata dan Lahatma boru Limbong Sihole, Tugu ini adalah pemersatu bagimu keturunanku, Tugu ini adalah tempat ziarah bagi kamu yang lelah, Tugu ini adalah mata air bagi kamu yang rindu. Tugu mempunyai ketinggian 17 meter. Pada puncak tugu terdapat "tatuan" yaitu sejenis piring yang terbuat dari kayu dan mempunyai "kaki" semacam penyangga. Dengan tatuan ini pada masa lampau keluarga Batak makan bersama. Pada model tatuan dipuncak tugu tersebut tidak lupa nasi putih. Tatuan berisi nasi putih ini menggambarkan-menyimbolkan "Pomparan Simataraja adalah sapanganan jala sada roha, seia sekata".
Sumber http://id.wikipedia.org/wiki/Simarmata
Read More......
Posted by
Ord Pe
at
12:57 AM
0
comments
Tuesday, January 15, 2008
Jasad Ompungku Rupanya Hilang
Tulisan ini kubaca dari situsnya liputan 6. yang sangat menyedihkanku adalah hilangnya Jasad Sang Raja Simarmata...... Dasar Belanda.. Dan akupun baru mengetahuinya sekarang. mengapa orang tuaku tidak pernah menceritakannya, atau malahan merekapun juga tidak mengetahuinya. Satu hal yang selalu orang tuaku bilang " We are SIMATARAJA" dang dope dibereng jolma, nungga di Matahon simarmata... Akupun kurang mengerti apa maksudnya. Entah mengapa aku sangat membanggakan margaku, sama dengan batak lainnya. Ternyata setelah kutelaah bahwasanya orang tua Zaman dahulu sengaja menerapkan hal itu sehingga muncul semangat berkompetisi dengan orang lain dengan membanggakan latar belakang budaya. Hal ini kuperoleh dari Tulisan Lawrence Manullang
Menanggapi latar belakang apresiasinya terhadap kultur ini, Laurence membeberkan pengalaman pribadinya. Suatu saat pada waktu berkunjung ke Korea Selatan, dia menyaksikan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional Korea Selatan sungguh sangat mengagumkan. Laurence bertanya-tanya,apa yang menjadi motivasi yang mampu mempersatukan seluruh rakyat Korea. Selatan untuk bekerja keras. Bayangkan hampir semua tenaga produktif orang Korea Selatan mampu bekerja 18 jam satu hari. Laurence dapat menemukan motivasi itu adalah faktor kultur.
Laurence membaca satu majalah terbitan Korean AirLine yang menceriterakan asal-usul orang Korea. Katanya, orang Korea adalah termasuk suku bangsa tua yang berasal dari hasil perkawinan campuran antara Cina dan Siberia (Rusia). Sedangkan Jepang berasal dari satu propinsi di Cina,yang eksodus transmigrasi menempati teritori yang paling timur di Asia yang secara langsung terlepas dari daratan Cina. Orang Korea mengumumkan bahwa orang Jepang jauh lebih muda dari orang Korea. Tapi Jepang sempat menjajah Korea selama 35 tahun. Lalu pemimpin Korea mengumandangkan bahwa sebagai saudara muda, orang Jepang seharusnya tidak layak menjajah Korea big brother-nya sampai 35 tahun. Namun sayang, itu telah terjadi. Tapi sekarang tibalah saatnya Korea menjajah Jepang dari sudut ekonomi demikian pemimpin Korea memotivasi rakyatnya untuk bekerja keras membangun negeri. Ternyata motivasi ini sangat mujarab, orang Korea memiliki etos kerja yang dahsyat. Rupanya motivasi yang paling kuat untuk membangun etos kerja kalau dapat dikaitkan hal positif dari faktor keturunan dapat merupakan pendorong yang ampuh.
Toba, Muara Tradisi yang Nyaris Punah
iputan6.com, Samosir: Danau Toba dan Pulau Samosir di Sumatra Utara tak hanya indah. Tapi, ternyata juga menyimpan legenda keramat Suku Batak. Para tetua Batak yakin sumber tradisi mereka berasal dari danau yang kini menjadi obyek wisata andalan provinsi Sumut itu. Orang Batak Toba yang bermukim di sekitar danau ini memang patut bersyukur. Lihat saja. Meski sekitar daerah tersebut mulai gundul dan air danau kian susut, namun penduduk masih bisa bermanja dengan kesuburan alamnya.
Legenda yang masih hidup hingga kini menyebutkan raja Batak yang menjadi leluhur suku itu diturunkan Sang Pencipta di tempat tersebut. Di pinggiran Danau Toba persis di puncak Gunung Pusuk Buhit.Di lereng gunung yang dianggap keramat ini pula masyarakat setempat mempercayai tempat raja Batak menyimpan hartanya. Kekayaan itu tersimpan dalam sumur bernama Sianjur. Kemudian mulut tempat air itu ditutup batu hobon. Mereka yakin, jika batu bertuah itu disingkirkan, akan mendatangkan petaka. Legenda itulah yang membuat banyak orang berziarah ke Sianjur untuk memohon berkah.Orang Batak di sekitar Danau Toba hidup dari hasil pertanian. Komunitas mereka berkembang dalam lingkup perkampungan kecil yang disebut huta dan ditandai pagar batu raksasa. Sisa-sisa huta tersebar di kawasan ini. Sekarang, peninggalan itu bisa ditemukan dalam bentuk rumah dan lumbung padi tradisional orang Batak. Keindahan ukiran dan detil bangunan-bangunan ini melambangkan struktur masyarakat yang disertai doa bagi keturunannya.Dahulu, kaum perempuan selalu menyempatkan diri menenun ulos. Kain tradisional orang Batak itu kemudian dijual untuk menunjang hidup. Sebuah ulos bisa diselesaikan paling cepat dalam tempo seminggu. Jika buah tangan itu sudah sempurna, harga jualnya disesuaikan tingkat kreasi yang diciptakan. Minimal harga sehelai ulos Rp 150 ribu. Sayangnya, kegiatan ini sudah sulit ditemui. Sebab, kerajinan tangan para perempuan yang kerap membantu suaminya bertani ini kalah bersaing dengan buatan pabrik yang dilego dengan harga lebih murah.Di sudut lain, Guntur Sitohang masih mencoba melestarikan kemampuannya menciptakan alat musik tradisional yang kini sudah langka. Bahkan, hanya dialah yang masih tetap serius menekuni pembuatan alat-alat musik tradisional Batak di kawasan Toba itu. Padahal, usaha yang telah puluhan tahun digarapnya ini sering tak sebanding dengan pesanan yang datang. Dia bertahan hanya demi idealisme. Harga alat musik tradisional itu beragam. Seruling atau talatuit yang paling murah. "Bisa diminta saja, tak usah dibayar," kata Guntur, datar. Termahal, tambah dia, gondang atau tagading. Harganya Rp 3 juta. "Tapi jika lengkap dengan gong, serunai besar dan pasangannya, paling murah Rp 6 juta," kata Guntur. Sebab, membuat alat musik tersebut cukup sulit. Guntur mengakui kian sulit menemukan jejak seni budaya asli Batak di tempat ini. Bahkan, bisa dikatakan kesenian tradisional itu sudah punah.Ritual yang masih dilaksanakan hingga kini adalah upacara kematian. Perayaan ini diagungkan karena menjadi kelanjutan siklus perjalanan hidup seseorang di dunia. Bagi orang Batak, alam kematian adalah pencapaian kemuliaan yang disebut tondi. Tak heran bila orang Batak rela mengeluarkan duit jutaan rupiah untuk membangun makam-makam megah.Sisa makam kuno juga masih ada hingga kini. Hal itu bisa dilihat di makam raja Simarmata di Huta Simarmata yang masih berupa sarkofagus batu. Sayangnya, mayat raja ini diambil pemerintah kolonial Belanda semasa pergerakan kemerdekaan. Tindakan itu dilancarkan untuk menggemboskan semangat rakyat. Agaknya siasat ini berhasil. Ikatan batin masyarakat terhadap budayanya pun ikut melemah. Kini, sisa-sisa warisan budaya itu pun memudar bersama waktu.(TNA/Tim Potret)
Read More......
Menanggapi latar belakang apresiasinya terhadap kultur ini, Laurence membeberkan pengalaman pribadinya. Suatu saat pada waktu berkunjung ke Korea Selatan, dia menyaksikan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional Korea Selatan sungguh sangat mengagumkan. Laurence bertanya-tanya,apa yang menjadi motivasi yang mampu mempersatukan seluruh rakyat Korea. Selatan untuk bekerja keras. Bayangkan hampir semua tenaga produktif orang Korea Selatan mampu bekerja 18 jam satu hari. Laurence dapat menemukan motivasi itu adalah faktor kultur.
Laurence membaca satu majalah terbitan Korean AirLine yang menceriterakan asal-usul orang Korea. Katanya, orang Korea adalah termasuk suku bangsa tua yang berasal dari hasil perkawinan campuran antara Cina dan Siberia (Rusia). Sedangkan Jepang berasal dari satu propinsi di Cina,yang eksodus transmigrasi menempati teritori yang paling timur di Asia yang secara langsung terlepas dari daratan Cina. Orang Korea mengumumkan bahwa orang Jepang jauh lebih muda dari orang Korea. Tapi Jepang sempat menjajah Korea selama 35 tahun. Lalu pemimpin Korea mengumandangkan bahwa sebagai saudara muda, orang Jepang seharusnya tidak layak menjajah Korea big brother-nya sampai 35 tahun. Namun sayang, itu telah terjadi. Tapi sekarang tibalah saatnya Korea menjajah Jepang dari sudut ekonomi demikian pemimpin Korea memotivasi rakyatnya untuk bekerja keras membangun negeri. Ternyata motivasi ini sangat mujarab, orang Korea memiliki etos kerja yang dahsyat. Rupanya motivasi yang paling kuat untuk membangun etos kerja kalau dapat dikaitkan hal positif dari faktor keturunan dapat merupakan pendorong yang ampuh.
Toba, Muara Tradisi yang Nyaris Punah
iputan6.com, Samosir: Danau Toba dan Pulau Samosir di Sumatra Utara tak hanya indah. Tapi, ternyata juga menyimpan legenda keramat Suku Batak. Para tetua Batak yakin sumber tradisi mereka berasal dari danau yang kini menjadi obyek wisata andalan provinsi Sumut itu. Orang Batak Toba yang bermukim di sekitar danau ini memang patut bersyukur. Lihat saja. Meski sekitar daerah tersebut mulai gundul dan air danau kian susut, namun penduduk masih bisa bermanja dengan kesuburan alamnya.
Legenda yang masih hidup hingga kini menyebutkan raja Batak yang menjadi leluhur suku itu diturunkan Sang Pencipta di tempat tersebut. Di pinggiran Danau Toba persis di puncak Gunung Pusuk Buhit.Di lereng gunung yang dianggap keramat ini pula masyarakat setempat mempercayai tempat raja Batak menyimpan hartanya. Kekayaan itu tersimpan dalam sumur bernama Sianjur. Kemudian mulut tempat air itu ditutup batu hobon. Mereka yakin, jika batu bertuah itu disingkirkan, akan mendatangkan petaka. Legenda itulah yang membuat banyak orang berziarah ke Sianjur untuk memohon berkah.Orang Batak di sekitar Danau Toba hidup dari hasil pertanian. Komunitas mereka berkembang dalam lingkup perkampungan kecil yang disebut huta dan ditandai pagar batu raksasa. Sisa-sisa huta tersebar di kawasan ini. Sekarang, peninggalan itu bisa ditemukan dalam bentuk rumah dan lumbung padi tradisional orang Batak. Keindahan ukiran dan detil bangunan-bangunan ini melambangkan struktur masyarakat yang disertai doa bagi keturunannya.Dahulu, kaum perempuan selalu menyempatkan diri menenun ulos. Kain tradisional orang Batak itu kemudian dijual untuk menunjang hidup. Sebuah ulos bisa diselesaikan paling cepat dalam tempo seminggu. Jika buah tangan itu sudah sempurna, harga jualnya disesuaikan tingkat kreasi yang diciptakan. Minimal harga sehelai ulos Rp 150 ribu. Sayangnya, kegiatan ini sudah sulit ditemui. Sebab, kerajinan tangan para perempuan yang kerap membantu suaminya bertani ini kalah bersaing dengan buatan pabrik yang dilego dengan harga lebih murah.Di sudut lain, Guntur Sitohang masih mencoba melestarikan kemampuannya menciptakan alat musik tradisional yang kini sudah langka. Bahkan, hanya dialah yang masih tetap serius menekuni pembuatan alat-alat musik tradisional Batak di kawasan Toba itu. Padahal, usaha yang telah puluhan tahun digarapnya ini sering tak sebanding dengan pesanan yang datang. Dia bertahan hanya demi idealisme. Harga alat musik tradisional itu beragam. Seruling atau talatuit yang paling murah. "Bisa diminta saja, tak usah dibayar," kata Guntur, datar. Termahal, tambah dia, gondang atau tagading. Harganya Rp 3 juta. "Tapi jika lengkap dengan gong, serunai besar dan pasangannya, paling murah Rp 6 juta," kata Guntur. Sebab, membuat alat musik tersebut cukup sulit. Guntur mengakui kian sulit menemukan jejak seni budaya asli Batak di tempat ini. Bahkan, bisa dikatakan kesenian tradisional itu sudah punah.Ritual yang masih dilaksanakan hingga kini adalah upacara kematian. Perayaan ini diagungkan karena menjadi kelanjutan siklus perjalanan hidup seseorang di dunia. Bagi orang Batak, alam kematian adalah pencapaian kemuliaan yang disebut tondi. Tak heran bila orang Batak rela mengeluarkan duit jutaan rupiah untuk membangun makam-makam megah.Sisa makam kuno juga masih ada hingga kini. Hal itu bisa dilihat di makam raja Simarmata di Huta Simarmata yang masih berupa sarkofagus batu. Sayangnya, mayat raja ini diambil pemerintah kolonial Belanda semasa pergerakan kemerdekaan. Tindakan itu dilancarkan untuk menggemboskan semangat rakyat. Agaknya siasat ini berhasil. Ikatan batin masyarakat terhadap budayanya pun ikut melemah. Kini, sisa-sisa warisan budaya itu pun memudar bersama waktu.(TNA/Tim Potret)
Posted by
Ord Pe
at
11:28 PM
0
comments
Subscribe to:
Posts (Atom)